MALONA BANGUA TERAKHIR
- Sulfiza Ariska (Ilmu Komunikasi Universitas
- Jun 25, 2017
- 3 min read

MALONA BANGUA[1] telah tiba. Seluruh penjuru bumi Walio seolah berpesta. Onde-onde, bolu, baruasa, cucur, ngkaowi-owi, sanggara, dan aneka makanan khas haroa[2]—terhidang nyaris di seluruh banua tada[3]. Bagaikan kunang-kunang, cahaya lilin mengepung seluruh penjuru desa. Anak-anak ramai meletuskan petasan. Shalawat Nabi dan ayat-ayat suci al-Quran yang mengalun dari masjid dan mushola, menghalau kabut kemurungan yang menjajah kalbuku. Tidak ada setitik kesedihan yang menodai hatiku. Bila hasil diagnosa dokter terbukti benar—bahwa aku akan tutup usia bulan Ramadhan ini, aku pasti mati bahagia.”
“Meskipun bukan kampung halamanku, di Bumi Walio inilah kutemukan muara kehidupan yang selama ini kucari,” bisikku sambil menutup jendela banua tada yang menjadi tempatku menumpangkan cita-cita abadi, sehingga tangan-tangan angin tidak mempermainkan dan melepaskan jilbabku.
***
Jakarta yang menjadi tanah kelahiranku hanya membuatku terus-menerus dihujani kehampaan. Di Ibu Kota itu, aku merasa diremas-remas kesepian dalam keramaian dan hiruk-pikuk yang seolah tidak berujung. Aku telah mencoba menghamba pada gemerlap dunia sebagaimana yang dijalani para sosialita. Tetapi, semuanya hanya hampa. Suatu hari, aku ditemukan pingsan di sebuah mall. Setelah menjalani pemeriksaan medis, hasil X-Ray menunjukkan sel-sel kanker telah menjajah sepasang payudaraku. Dari diagnosa dokter, kanker payudara telah mencapai stadium lanjut dan jantungku akan berhenti berdetak bulan Ramadhan tahun ini.
Sejak aku menderita penyakit mematikan itu, sahabat-sahabat dan saudara-saudaraku berlomba-lomba menghiburku. Kedua orangtua yang telah bercerai, menghujani diriku dengan berbagai hadiah. Bahkan, mereka sepakat untuk kembali rujuk. Padahal, bukan itu yang aku inginkan. Aku mendambakan sesuatu yang menumbuhkan harapan, sehingga aku tidak meratapi kematian yang terus menghantui.
Berkat sahabat lama, Wa Ode Nurmala, aku menemukannya di bumi Walio ini. Sepuluh tahun yang lalu, kami pernah berjumpa dalam sebuah konfrensi Internasional mengangkat isu pemanasan global. Waktu itu, Wa Ode Nurmala menjadi delegasi dari STIS, sedangkan aku dari Universitas Indonesia. Meskipun seorang jilbaber, Wa Ode Nurmala tidak menatapku dengan sorot mata jijik karena aku suka berpakaian seksi.
“Hanya Tuhan yang berhak menentukan usia makhluknya, Rani,” tutur Wa Ode Nurmala ketika mengunjungi apartemen tempatku tinggal. Dari manik matanya, ia sama sekali tidak memandangku dengan tatapan kasihan. “Barangkali, kamu butuh tempat yang menenangkan pikiran, sehingga kau menemukan kembali cahaya dalam hatimu.”
“Entahlah,” bisikku dengan nada putus asa.
“Bila kau membutuhkan rumah yang mungkin akan mendatangkan kedamaian,” ujar Wa Ode Nurmala tanpa memedulikan keputus-asaan yang merajang-rajang hatiku, “datanglah ke rumahku di Desa Rongi.”
Karena aku tidak memiliki pilihan, tawaran Wa Ode Nurmala kusambut tanpa antusias. Setelah meninggalkan sepucuk surat untuk orangtuaku untuk memberitahu keberadaan dan alamatku di desa yang terletak di Buton Selatan, aku pun terbang ke bumi Walio itu—dua bulan sebelum Ramadhan tiba. Otakku telah penuh dengan depresi, keputus-asaan, dan kecemasan pada kematian. Akibatnya, aku tidak membawa apa-apa selain pakaian yang melekat di badan. Begitu Wa Ode Nurmala menawarkanku memakai pakaian muslimahnya, aku pun memakai tanpa banyak protes. Ketika Wa Ode Nurmala mengajakku untuk membantunya mengajar anak-anak desa untuk membaca dan mengenal angka-angka, aku pun bersedia.
Tanpa, aku duga, aku ternyata menyukai pakaian yang dipinjamkan Wa Ode Nurmala dan sangat menikmati mengajar anak-anak. Senyum, tawa, dan kenakalan mereka membuat kematian tidak begitu menakutkan. Bahkan, ingatan pada kematian membuatku merasa kehidupan terlalu indah untuk disia-siakan. Perlahan-lahan, harapan kembali tumbuh dan bertunas di hatiku. Aku pun merasa hidup. Bahkan, aku merasa jauh lebih hidup daripada sebelumnya. Aku terus memakai pakaian yang dipinjamkan Wa Ode Nurmala dan terus mengajar anak-anak, hingga malona bangua telah menjelang.
***
Tepat lima belas menit sebelum malona bangua diretakkan adzan maghrib, tiba-tiba sepucuk surat melayang ke ambang pintu banua tada dan memudarkan kenangan-kenangan masa lalu yang menyergapku. “Surat ini semestinya sudah kau terima satu bulan yang lalu,” jelas Wa Ode Nurmala. “Sayangnya, surat ini berkali-kali tersesat, sehingga sempat menumpuk di gudang arsip Banua tada tare pata pae[4].”
Di bawah cahaya lilin yang menerangi banua tada, aku membuka sepucuk surat beramplop putih seputih kain kafan. Begitu amplop itu terkuak, sehelai foto X-Ray dan sepucuk surat dari konsulen intalasi radiologi sebuah rumah sakit ternama di Jakarta, meluncur ke permukaan lantai kayu. Berbeda dengan hasil X-Ray sebelumnya, hasil X-Ray itu tidak menunjukkan sel-sel kanker yang menjajah sepasang payudaraku. Dalam surat itu, dokter meminta maaf atas kekeliruan hasil X-Ray sebelumnya.
Sambil menghembuskan nafas panjang, aku kembali memasukkan lembaran X-Ray dan surat dokter ke dalam amplop seputih kafan tersebut. “Bukankah setiap yang bernyawa pasti akan mati?” bisikku dalam hati sambil tersenyum.
“Mengapa kau tersenyum?” tanya Wa Ode Nurmala.
“Aku bahagia di sini,” jawabku riang. “Aku tidak ingin kembali ke Jakarta. Mulai Ramadhan ini, aku putuskan bahwa aku ingin terus mengajar anak-anak dan belajar agama Islam lebih dalam padamu. Jika ini Ramadhan terakhir bagiku, maka aku akan pulang ke hadapan Allah dengan hati bahagia.”
Di awal bulan Ramadhan ini, airmata haru meruah di sepasang mata Wa Ode Nurmala. Bagaikan saudara, ia memelukku erat-erat, sehingga aku bisa merasakan kebahagiaan yang mengalir dari detak jantungnya.
[1] Tradisi menyambut bulan Ramadhan di Buton
[2] Ritual perayaan hari-hari besar Islam atau bentuk syukuran atas karunia Tuhan.
[3] Rumah tradisional Walio (Buton)
[4] Rumah ini diperuntukkan sebagai tempat tinggal para pejabat, pegawai istana atau anggota adat