GENOSIDA ROHINGYA DAN MATINYA NURANI DUNIA
- ROHIS STIS
- Sep 25, 2017
- 4 min read

Kasus Rohingya telah menjadi perhatian dunia. Karena isu yang sebenarnya kompleks dari sisi kemanusiaan mengerucut menjadi sebuah isu agama, masyarakat internasional mulai dari organisasi sosial sampai agama berusaha ikut serta membantu dalam permasalahan ini. Faktanya, banyak simpang siur di media. Banyak pihak ketiga, yang sebenarnya tidak berhubungan langsung dengan konfliknya, berusaha untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di sana. Permulaan kasus Rohingya sebenarnya terjadi sejak tahun 2012. Hal tersebut mulai disadari ketika banyak pengungsi Rohingya berdatangan ke Indonesia, namun kasus ini mulai meledak di akhir tahun 2016, bahkan mencuri perhatian negara-negara Islam, karena adanya dugaan keterlibatan organisasi ekstremis agama tersebut di dalamnya. Konflik yang memang melibatkan beberapa tokoh agama ini sebenarnya adalah konflik yang berakar pada etnisitas dan status sosial ekonomi.
Ada hal-hal yang disinyalir menjadi penyebabnya seperti persoalan kewarganegaraan dari etnis Rohingya tidak dapat terakomodasi dengan baik dalam undang-undang kewarganegaraan (Burma) tahun 1982 kala itu. Karena disinyalir ada yang memodifikasi sejarah mengenai mereka.
Selain itu, etnis Rohingya juga jatuh dalam konflik horisontal dengan etnis Arakan yang menjadi suku mayoritas di sana. Sementara terjadi sebuah ironi di mana pemimpin Myanmar, Aung San Suu Kyi, yang nyatanya sebagai penerima nobel perdamaian, malah membiarkan konflik ini berkepanjangan. Cara penyelesaian menggunakan pola militeristik sangat tidak dibenarkan dalam kasus ini. Hal yang paling berbahaya adalah keterlibatan ekstremis/teroris yang mengatasnamakan Islam dan sekelompok biksu yang mengatasnamakan Buddha hingga membuat kasus Rohingya seakan merupakan konflik agama. Dengan terjadinya konflik tersebut, jumlah korban masyarakat menjadi sangat banyak dan terindikasi terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) oleh tentara dan polisi Myanmar yang pada ujungnya menjadi sebuah usaha genosida terhadap suatu kaum atau kelompok yang saat ini mengakibatkan eksodus besar-besaran pengungsi ke Bangladesh sebagai negara terdekat dan juga ke negara-negara di wilayah ASEAN. Ada yang menarik dalam hal ini karena konflik ini tidak bisa disebutkan murni konflik agama karena ada dua etnis yang sama-sama mayoritas muslim di Myanmar yaitu Rohingya dan Bengali. Namun etnis Bengali bisa dengan bebas beribadah dan menjalani kehidupan sosial ekonominya secara normal sejak zaman kolonialisasi Inggris. Bahlan etnis Bengali telah mendapatkan hak utuh sebagai warga negara sejak saat itu.
Tindakan diskriminatif hanya diterima oleh etnis Rohingya tanpa memandang agamanya, baik etnis Rohingya muslim maupun nonmuslim, sehingga ini lebih ke konflik etnis. Terlepas dari itu, di saat yang sama sebenarnya Myanmar juga mengalami konflik antar etnis lainnya di tujuh negara bagian yang berbeda di sana.Â
Jika menilik sejarah, etnis Rohingya telah hidup di sana mulai abad ke-15 dan mereka sangat dihormati oleh raja Buddha dan mereka semua hidup rukun sehingga dugaan adanya pihak pengadu domba untuk kepentingan pribadi atau golongan sangat kuat dan semua terindikasi ke situ. Banyak pihak yang setelah mengetahui kebenarannya, akhirnya melihat konflik ini sebagai bentuk perang yang faktor utamanya belum diketahui secara pasti. Yang jelas, ini adalah sebuah tragedi kemanusiaan sehingga banyak pihak pula yang berusaha memberi jalan keluar bagi mereka dengan tanpa memihak. Karena isu agama yang dilemparkan ke publik sangat kental sehingga harus lebih berhati-hati dalam hal penangannya.
Sebenarnya ada hal-hal yang sudah dilakukan dalam hal menyelesaikan krisis kemanusiaan Rohingya. Pemerintah Myanmar sendiri telah membentuk advisory commision yang dipimpin oleh mantan sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Kofi Anan, yang memperjuangkan Rohingya agar resmi dinyatakan sebagai warga negara supaya konflik ini selesai. Khusus untuk Indonesia, Duta Besar RI sudah memberikan penjelasan secara utuh mengenai latar belakang krisis ini agar masyarakat Indonesia tidak salah paham dan salah langkah akibat paparan media uang tidak benar-benar menjelaskan tentang fakta yang sebenarnya. Selain itu, Pemerintah RI melalui kementerian luar negeri menyampaikan usulan dan rekanan kepada pemerintah Myanmar untuk mengembalikan stabilitas serta kemamanan, tidak menggunakan kekerasan atau militer untuk menghadapi kaum Rohingya, melindungi seluruh rakyat tanpa pandang bulu dan membuka akses bantuan kemanusiaan seluas-luasnya.
Tidak kalah penting, banyak langkah nyata dari organisasi keagamaan dan kemanusiaan di Indonesia seperti Medical Emergency Rescue Committee (Mer-C), Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Palang Merah Indonesia (PMI), Perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI), serta masih banyak lagi yang mengirimkan bantuan kemanusiaan secara langsung ke Myanmar. Pada dasarnya, Indonesia, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Organisasi Kerjasama Islam (OKI), dan ASEAN telah turun tangan melihat persoalan Rohingya ini secara komprehensif, artinya semua tergantung pada keputusan Myanmar sendiri atas masalah kemanusiaan warganya sendiri dan tidak ada kaitannya dengan agama.
Hal yang perlu diketahui dalam kasus ini adalah sejatinya etnis Rohingya tidak sekali-sekali ingin merdeka dan memisahkan diri dari Union of Myanmar. Mereka hanya ingin diakui sebagai bagian dari Warga Negara Myanmar yang berhak untuk hidup bebas dari rasa takut dan kemiskinan. Bebas bergerak dan pindah ke mana pun serta bebas berekspresi, beribadah dan menjalankan keyakinan agamanya. Hal itu dirasa adalah suatu keinginan yang amat wajar sebagai warga dalam sebuah negara. Jadi intinya, pada tahap awal, terkesan telah terjadi pembiaran terhadap kekerasan dan upaya genosida terhadap etnis Rohingya oleh dunia. Tetapi, lambat laun mulai terkuak bahwa dunia tidak tinggal diam dengan hal itu. Terbukti dangan banyaknya negara yang sudah melakukan tindakan nyata untuk menyelesaikan tragedi kemanusiaan ini walaupun mayoritas negara-negara di dunia yang melakukan ini adalah negara-negara muslim. Akan tetapi, sekali lagi, harus diingat bahwa ini bukan konflik agama, melainkan sentimen etnisitas di dalam sebuah negara. Oleh karena itu, hanya negara yang bersangkutanlah yang paling bisa menyelesaikan tragedi kemanusiaan ini secara konkret dan tuntas.Â
(Valencia)